Foto & Profil Jhon Kei, Herculer, Olo Panggabean
JOHN KEI, THE BIG BOSS MALUKU UTARA
Jhon Refra Kei atau yang biasa disebut Jhon Kei, tokoh pemuda asal Maluku yang lekat dengan dunia kekerasan di Ibukota. Namanya semakin berkibar ketika tokoh pemuda asal Maluku Utara pula, Basri Sangaji meninggal dalam suatu pembunuhan sadis di Hotel Kebayoran Inn di Jakarta Selatan pada 12 Oktober 2004 lalu.
Padahal dua nama tokoh pemuda itu seperti saling bersaing demi mendapatkan nama lebih besar. Dengan kematian Basri, nama Jhon Key seperti tanpa saingan. Ia bersama kelompoknya seperti momok menakutkan bagi warga di Jakarta.
Untuk
diketahui, Jhon Kei merupakan pimpinan dari sebuah himpunan para pemuda
Ambon asal Pulau Kei di Maluku Tenggara. Mereka berhimpun pasca -
kerusuhan di Tual, Pulau Kei pada Mei 2000 lalu. Nama resmi himpunan
pemuda itu Angkatan Muda Kei ( AMKEI ) dengan Jhon Kei sebagai pimpinan.
Ia bahkan mengklaim kalau anggota AMKEI mencapai 12 ribu orang.
Lewat
organisasi itu, Jhon mulai mengelola bisnisnya sebagai debt collector
alias penagih utang. Usaha jasa penagihan utang semakin laris ketika
kelompok penagih utang yang lain, yang ditenggarai pimpinannya adalah
Basri Sangaji tewas terbunuh. Para ‘klien’ kelompok Basri Sangaji
mengalihkan ordernya ke kelompok Jhon Kei. Aroma menyengat yang timbul
di belakang pembunuhan itu adalah persaingan antara dua kelompok penagih
utang.
Bahkan pertumpahan darah besar - besaran hampir terjadi
tatkala ratusan orang bersenjata parang, panah, pedang, golok, celurit
saling berhadapan di Jalan Ampera Jaksel persis di depan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan pada awal Maret 2005 lalu. Saat itu sidang
pembacaan tuntutan terhadap terdakwa pembunuhan Basri Sangaji. Beruntung
8 SSK Brimob Polda Metro Jaya bersenjata lengkap dapat mencegah
terjadinya bentrokan itu.
Sebenarnya pembunuhan terhadap Basri
ini bukan tanpa pangkal, konon pembunuhan ini bermula dari bentrokan
antara kelompok Basri dan kelompok Jhon Key di sebuah Diskotik Stadium
di kawasan Taman Sari Jakarta Barat pada 2 Maret 2004 lalu. Saat itu
kelompok Basri mendapat ‘order’ untuk menjaga diskotik itu. Namun
mendadak diserbu puluhan anak buah Jhon Kei Dalam aksi penyerbuan itu,
dua anak buah Basri yang menjadi petugas security di diskotik tersebut
tewas dan belasan terluka.
Polisi bertindak cepat, beberapa
pelaku pembunuhan ditangkap dan ditahan. Kasusnya disidangkan di
Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Namun pada 8 Juni di tahun yang sama
saat sidang mendengarkan saksi - saksi yang dihadiri puluhan anggota
kelompok Basri dan Jhon Kei meletus bentrokan. Seorang anggota Jhon Kei
yang bernama Walterus Refra Kei alias Semmy Kei terbunuh di ruang
pengadilan PN Jakbar. Korban yang terbunuh itu justru kakak kandung Jhon
Key, hal ini menjadi salah satu faktor pembunuhan terhadap Basri,
selain persaingan bisnis juga ditunggangi dendam pribadi.
Pada
Juni 2007 aparat Polsek Tebet Jaksel juga pernah meminta keterangan Jhon
Key menyusul bentrokan yang terjadi di depan kantor DPD PDI Perjuangan
Jalan Tebet Raya No.46 Jaksel. Kabarnya bentrokan itu terkait penagihan
utang yang dilakukan kelompok Jhon Key terhadap salah seorang kader PDI
Perjuangan di kantor itu. Bukan itu saja, di tahun yang sama kelompok
ini juga pernah mengamuk di depan Diskotik Hailai Jakut hingga
memecahkan kaca - kaca di sana tanpa sebab yang jelas.
Sebuah
sumber dari seseorang yang pernah berkecimpung di kalangan jasa
penagihan utang menyebutkan, Jhon Kei dan kelompoknya meminta komisi 10
persen sampai 80 persen. Persentase dilihat dari besaran tagihan dan
lama waktu penunggakan. “Tapi setiap kelompok biasanya mengambil komisi
dari kedua hal itu,” ujar sumber tersebut.
Dijelaskannya, kalau
kelompok John, Sangaji atau Hercules yang merupakan 3 Besar Debt
Collector Ibukota biasanya baru melayani tagihan di atas Rp 500 juta.
Menurutnya, jauh sebelum muncul dan merajalelanya ketiga kelompok itu,
jasa penagihan utang terbesar dan paling disegani adalah kelompok
pimpinan mantan gembong perampok Johny Sembiring, kelompoknya bubar saat
Johny Sembiring dibunuh sekelompok orang di persimpangan Matraman
Jakarta Timur tahun 1996 lalu.
"Kalau kelompok tiga besar itu
biasa main besar dengan tagihan di atas Rp 500 juta’an, di bawah itu
biasanya dialihkan ke kelompok yang lebih kecil. Persentase komisinya
pun dilihat dari lamanya waktu nunggak, semakin lama utang tak terbayar
maka semakin besar pula komisinya,” ungkap sumber itu lagi.
Dibeberkannya, kalau utang yang ditagih itu masih di bawah satu tahun
maka komisinya paling banter 20 persen. Tapi kalau utang yang ditagih
sudah mencapai 10 tahun tak terbayar maka komisinya dapat mencapai 80
persen.
Bahkan menurut sumber tersebut, kelompok penagih bisa
menempatkan beberapa anggotanya secara menyamar hingga berhari - hari
bahkan berminggu - minggu atau berbulan-bulan di dekat rumah orang yang
ditagih. “Pokoknya perintahnya, dapatkan orang yang ditagih itu dengan
cara apa pun,” ujarnya.
Saat itulah kekerasan kerap muncul ketika
orang yang dicari - carinya apalagi dalam waktu yang lama didapatkannya
namun orang itu tak bersedia membayar utangnya dengan berbagai dalih.
“Dengan cara apa pun orang itu dipaksa membayar, kalau perlu culik
anggota keluarganya dan menyita semua hartanya,” lontarnya.
Dilanjutkannya,
ketika penagihan berhasil walaupun dengan cara diecer alias dicicil,
maka saat itu juga komisi diperoleh kelompok penagih. “Misalnya total
tagihan Rp 1 miliar dengan perjanjian komisi 50 persen, tapi dalam
pertemuan pertama si tertagih baru dapat membayar Rp 100 juta, maka
kelompok penagih langsung mengambil komisinya Rp 50 juta dan sisanya
baru diserahkan kepada pemberi kuasa. Begitu seterusnya sampai lunas.
Akhirnya walaupun si tertagih tak dapat melunasi maka kelompok penagih
sudah memperoleh komisinya dari pembayaran - pembayaran sebelumnya,”
Dalam
‘dunia persilatan’ Ibukota, khususnya dalam bisnis debt collector ini,
kekerasan kerap muncul diantara sesama kelompok penagih utang. Ia
mencontohkan pernah terjadi bentrokan berdarah di kawasan Jalan Kemang
IV Jaksel pada pertengahan Mei 2002 silam, dimana kelompok Basri Sangaji
saat itu sedang menagih seorang pengusaha di rumahnya di kawasan Kemang
itu, mendadak sang pengusaha itu menghubungi Hercules yang biasa
‘dipakainya’ untuk menagih utang pula.
“Hercules sempat ditembak
beberapa kali, tapi dia hanya luka - luka saja dan bibirnya terluka
karena terserempet peluru. Dia sempat menjalani perawatan cukup lama di
sebuah rumah sakit di kawasan Kebon Jeruk Jakbar. Beberapa anak buah
Hercules juga terluka, tapi dari kelompok Basri seorang anak buahnya
terbunuh dan beberapa juga terluka,” tutupnya.
Selain jasa
penagihan utang, kelompok Jhon Kei juga bergerak di bidang jasa
pengawalan lahan dan tempat. Kelompok Jhon Kei semakin mendapatkan
banyak ‘klien’ tatkala Basri Sangaji tewas terbunuh dan anggota
keloompoknya tercerai berai. Padahal Basri Sangaji bersama kelompoknya
memiliki nama besar pula dimana Basri CS pernah dipercaya terpidana
kasus pembobol Bank BNI, Adrian Waworunto untuk menarik aset - asetnya.
Tersiar kabar, Jamal Sangaji yang masih adik sepupu Basri yang jari -
jari tangannya tertebas senjata tajam dalam peristiwa pembunuhan Basri
menggantikan posisi Basri sebagai pimpinan dengan dibantu adiknya Ongen
Sangaji.
Kelompok Jhon Kei pernah mendapat ‘order’ untuk menjaga
lahan kosong di kawasan perumahan Permata Buana, Kembangan Jakarta
Barat. Namun dalam menjalankan ‘tugas’ kelompok ini pernah mendapat
serbuan dari kelompok Pendekar Banten yang merupakan bagian dari
Persatuan Pendekar Persilatan Seni Budaya Banten Indonesia ( PPPSBBI ).
Sekedar
diketahui, markas dan wilayah kerja mereka sebetulnya di Serang dan
areal Provinsi Banten. Kepergian ratusan pendekar Banten itu ke Jakarta
untuk menyerbu kelompok Jhon Kei pada 29 Mei 2005 ternyata di luar
pengetahuan induk organisasinya. Kelompok penyerbu itu pun belum
mengenal seluk - beluk Ibukota.
Akibatnya, seorang anggota
Pendekar Banten bernama Jauhari tewas terbunuh dalam bentrokan itu.
Selain itu sembilan anggota Pendekar Banten terluka dan 13 mobil
dirusak. 3 SSK Brimob PMJ dibantu aparat Polres Jakarta Barat berhasil
mengusir kedua kelompok yang bertikai dari areal lahan seluas 5.500
meter persegi di Perum Permata Buana Blok L/4, Kembangan Utara Jakbar.
Namun buntut dari kasus ini, Jhon Kei hanya dimintakan keterangannya
saja.
Sebuah sumber dari kalangan ini mengatakan kelompok penjaga
lahan seperti kelompok Jhon Kei biasanya menempatkan anggotanya di
lahan yang dipersengketakan. Besarnya honor disesuaikan dengan luasnya
lahan, siapa pemiliknya, dan siapa lawan yang akan dihadapinya
Semakin
kuat lawan itu, semakin besar pula biaya pengamanannya. Kisaran nominal
upahnya, bisa mencapai milyaran rupiah. Perjanjian honor atau upah
dibuat antara pemilik lahan atau pihak yang mengklaim lahan itu milikya
dengan pihak pengaman. Perjanjian itu bisa termasuk ongkos operasi
sehari - hari bisa juga diluarnya, misalnya untuk sebuah lahan sengketa
diperlukan 50 orang penjaga maka untuk logistik diperlukan Rp 100 ribu
per orang per hari, maka harus disediakan Rp 5 juta / hari atau langsung
Rp 150 juta untuk sebulan.
Selain pengamanan lahan sengketa, ada
pula pengamanan asset yang diincar pihak lain maupun menjaga lokasi
hiburan malam dari ancaman pengunjung yang membikin onar maupun ancaman
pemerasan dengan dalih ‘jasa pengamanan’ oleh kelompok lain, walau
begitu tapi tetap saja mekanisme kerja dan pembayarannya sama dengan
pengamanan lahan sengketa.
OLO PANGGABEAN, THE REAL MEDAN GODFATHER
Olo
Panggabean lahir di Tarurung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara
24 Mei 1941. Nama lengkapnya adalah Sahara Oloan Panggabean, tapi lebih
suka di panggil OLO, yang dalam bahasa Tapanuli artinya YA atau OK.
Pada
masa hidupnya, untuk menemui atau hanya melihat sosok “Ketua” itu
bukanlah perkara gampang. Hanya orang - orang tertentu yang tahu
keberadaannya di suatu tempat, itupun dengan pengawalan berlapis - lapis
yang selalu mengitari kemanapun dia pergi. Sang “Ketua” itu pun selalu
menghindari wartawan. Dia bahkan pernah memberikan uang kepada wartawan
untuk tidak mewawancarai ataupun mengabadikan dirinya melalui foto.
Sosoknya
sangat bertolak belakang dari sebutannya yang dikenal sebagai “Kepala
Preman.” Perawakannya seperti orang biasa dengan penampilan yang cukup
sederhana. Ia hanya mengunakan sebuah jam tangan emas tanpa satupun
cincin yang menempel di jarinya. Sorot matanya terlihat berair seperti
mengeluarkan air mata, tetapi memiliki lirikan yang sangat tajam.
“Jangan panggil saya Pak. Panggil saja Bang, soalnya saya kan sampai
sekarang masih lajang,”ujar Olo sambil tertawa. Meski begitu, pengawal
rata - rata bertubuh besar berkumis tebal dengan kepalan rata - rata
sebesar buah kelapa.
Olo Panggabean diperhitungkan setelah keluar
dari organisasi Pemuda Pancasila, saat itu di bawah naungan Effendi
Nasution alias Pendi Keling, salah seorang tokoh Eksponen ’66′. Tanggal
28 Agustus 1969, Olo Panggabean bersama sahabat dekatnya, Syamsul Samah
mendirikan IPK. Masa mudanya itu, dia dikenal sebagai preman besar.
Wilayah
kekuasannya di kawasan bisnis di Petisah. Dia juga sering dipergunakan
oleh pihak tertentu sebagai debt collector. Sementara organisasi yang
didirikan terus berkembang, sebagai bagian dari lanjutan Sentral
Organisasi Buruh Pancasila ( SOB Pancasila ), di bawah naungan dari
Koordinasi Ikatan – Ikatan Pancasila ( KODI ), dan pendukung Penegak
Amanat Rakyat Indonesia ( Gakari ).
Melalui IPK Olo kemudian
membangun “kerajaannya” yang sempat malang melintang di berbagai aspek
kehidupan di Sumut dan menghantarkannya dengan julukan “Ketua.” Selain
kerap disebut “Kepala Preman”, yang dikaitkan dari nomor seri plat
kendaraannya yang seluruhnya berujung “KP”, Olo juga dikenal orang
sebagai “Raja Judi” yang mengelola perjudian di Sumut. Namun segala hal
tersebut, belum pernah tersentuh atau dibuktikan oleh pihak yang
berwajib. Terasa, tapi tidak teraba.
Olo Panggabean pernah
dituding sebagai pengelola sebuah perjudian besar di Medan. Semasa
Brigjen Pol Sutiono menjabat sebagai Kapolda Sumut ( 1999 ), IPK pernah
diminta untuk menghentikan praktik kegiatan judi. Tudingan itu membuat
Moses Tambunan marah besar. Sebagai anak buah Olo Panggabean, Moses
menantang Sutiono untuk dapat membuktikan ucapannya tersebut.
Persoalan
ini diduga sebagai penyulut insiden di kawasan Petisah. Anggota brigade
mobile ( Brimob ) terluka akibat penganiayaan sekelompok orang. Merasa
tidak senang, korban yang terluka itu melaporkan kepada rekan rekannya.
Insiden ini menjadi penyebab persoalan, sekelompok oknum itu
memberondong tempat kediamana Olo “Gedung Putih” dengan senjata api.
Pada
pertengahan 2000, ia menerima perintah panggilan dari Sutanto ( saat
itu menjabat sebagai Kapolda Sumut ) terkait masalah perjudian namun
panggilan tersebut ditolaknya dengan hanya mengirimkan seorang wakil
sebagai penyampai pesan.
Sejak jabatan Kapolri disandang Sutanto
pada tahun 2005, kegiatan perjudian yang dikaitkan dengan Olo telah
sedikit banyak mengalami penurunan. Semasa Sutanto menjadi Kapolri,
bisnis judi Olo diberantas habis sampai keakar akarnya. Sutanto berhasil
memberantas judi di Sumatera Utara kurang dari tiga tahun, suatu hal
yang tidak dapat dilakukan oleh Kapolri sebelumnya. Sejak itu, Olo
dikabarkan memfokuskan diri pada bisnis legal, seperti POM Bensin ,
Perusahaan Otobus ( PO ) dan sebagainya.
Pada akhir 2008, Olo
Panggabean yang kembali harus berurusan pihak polisi. Namun kali ini,
kasusnya berbeda yakni untuk melaporkan kasus penipuan terhadap dirinya
oleh sejumlah rekannya dalam kasus jual beli tanah sebesar Rp 20 miliar
di kawasan Titi Kuning, Medan Johor.
Namun terlepas dari apa kata
orang terhadap Olo Panggabean, sejumlah langkah positif dalam
perjalanan hidupnya pantas dicatat dengan tinta emas. Terutama sikap
kedermawanannya dan kepeduliannya kepada rakyat tidak berkemampuan.
Kisah
sedih bayi kembar siam Angi - Anjeli anak dari pasangan Subari dan Neng
Harmaini yang kesulitan membiayai dana operasi pemisahan di Singapura,
tahun 2004 adalah satu contoh kedermawanan Olo paling mendebarkan.
Ibu
sang bayi, Neng Harmaini, melahirkan mereka di RS Vita Insani, Pematang
Siantar, Rabu, 11 Pebruari 2004 pukul 08.00 WIB, melalui operasi
caesar. Bayi kembar siam ini harus diselamatkan dengan operasi cesar,
tapi orangtuanya tidak mampu. Ditengah pejabat Pemprovsu dan Pemko
Siantar masih saling lempar wacana untuk membantu biaya operasi, malah
Olo Panggabean bertindak cepat menanggung semua biaya yang diperlukan.
Bahkan
saat bayi bernasib sial itu tiba di Bandara Polonia Medan dengan
pesawat Garuda Indonesia No. GIA 839 pada Senin 18 Juli 2004 sekitar
pukul 11.30, Olo Panggabean menyempatkan diri menyambut dan
menggendongnya.
Saat itu Angi dan Anjeli terseyum manis, mereka
mudah akrab dengan orang yang berjasa untuk mengoperasi mereka. Banyak
orang tereyuh dan orang tua Angi dan Anjeli, nyaris rubuh pingsan karena
terharu. Maklum, setelah membiayai semua perobatan di rumah sakit, Olo
masih bersedia menyambutnya di Bandara.
Kisah kedermawanan Ketua
sudah banyak dirasakan masyarakat kurang mampu di Sumatera Utara.Tidak
sekedar membiayai perobatan orang sakit, tapi juga dalam bentuk lain
berupa biaya pendidikan, modal kerja untuk menghidupi keluarga.
Olo
telah meninggal dunia Kamis, 30 April 2009 jam 14.00 di rumah sakit
Glenegles Medan Sumatera Utara. Olo meninggal pada usia 67 Tahun.
Jenazah disemayamkan dirumah duka jalan Sekip.
HERCULES, SANG PENGUASA TANAH ABANG
Ia
merupakan seorang pejuang yang pro terhadap NKRI ketika terjadi
ketegangan Timor - timur sebelum akhirnya merdeka pada tahun 1999. Maka
tak salah jika sosoknya yang begitu berkarisma ia dipercaya memegang
logistik oleh KOPASSUS ketika menggelar operasi di Tim - tim.
Namun
nasib lain hinggap pada dirinya, musibah yang dialaminya di Tim - tim
kala itu memaksa dirinya menjalani perawatan intensif di RSPAD Jakarta.
Dan dari situlah perjalanan hidupnya menjadi Hercules yang di kenal
sampai sekarang, ia jalani.
Hidup di Jakarta tepatnya di daerah
Tanah Abang yang terkenal dengan daerah ‘Lembah Hitam’, seperti
diungkapkan Hercules daerah itu disebutnya sebagai daerah yang tak
bertuan, bahkan setiap malamnya kerap terjadi pembacokan dan perkelahian
antar preman.
Hampir setiap malam pertarungan demi pertarungan
harus dia hadapi. “Waktu itu saya masih tidur di kolong - kolong
jembatan. Tidur nggak bisa tenang. Pedang selalu menempel di badan.
Mandi juga selalu bawa pedang. Sebab setiap saat musuh bisa menyerang,”
ungkapnya.
Rasanya tidak percaya Hercules preman yang paling
ditakuti, setidaknya di kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta. Tubuhnya
tidak begitu tinggi. Badannya kurus. Hanya tangan kirinya yang berfungsi
dengan baik. Sedangkan tangan kananya sebatas siku menggunakan tangan
palsu. Sementara bola mata kanannya sudah digantikan dengan bola mata
buatan.
Tapi setiap kali nama Hercules disebut, yang terbayang
adalah kengerian. Banyak sudah cerita tentang sepak terjang Hercules dan
kelompoknya. Sebut saja kasus penyerbuan Harian Indopos gara - gara
Hercules merasa pemberitaan di suratkabar itu merugikan dia. Juga
tentang pendudukan tanah di beberapa kawasan Jakarta yang menyebabkan
terjadi bentrokan antar - preman.
Tak heran jika bagi warga
Jakarta dan sekitarnya, nama Hercules identik dengan Tanah Abang. Meski
tubuhnya kecil, nyali pemuda kelahiran Timtim ( kini Timor Leste ) ini
diakui sangat besar. Dalam tawuran antar - kelompok Hercules sering
memimpin langsung. Pernah suatu kali dia dijebak dan dibacok 16 bacokan
hingga harus masuk ICU, tapi ternyata tak kunjung tewas. Bahkan suatu
ketika, dalam suatu perkelahian, sebuah peluru menembus matanya hingga
ke bagian belakang kepala tapi tak juga membuat nyawa pemuda berambut
keriting ini tamat. Ada isu dia memang punya ilmu kebal yang
diperolehnya dari seorang pendekar di Badui Dalam.
Ternyata, di
balik sosok yang menyeramkan ini, ada sisi lain yang belum banyak
diketahui orang. Dalam banyak peristiwa kebakaran, ternyata Hercules
menyumbang berton - ton beras kepada para korban. Termasuk buku - buku
tulis dan buku pelajaran bagi anak - anak korban kebakaran. Begitu juga
ketika terjadi bencana tsunami di beberapa wilayah, Hercules memberi
sumbangan beras dan pakaian.
Bahkan juga bantuan bahan bangunan
dan semen untuk pembangunan masjid - masjid. Sisi lain yang menarik dari
Hercules adalah kepeduliannya pada pendidikan. “Saya memang tidak tamat
SMA. Tapi saya menyadari pendidikan itu penting,” ujar ayah tiga anak
ini.
Maka jangan kaget jika Hercules menyekolahkan ketiga anaknya
di sebuah sekolah internasional yang relatif uang sekolahnya mahal.
Bukan Cuma itu, ketika Lembaga Pendidikan Kesekretarisan Saint Mary
menghadapi masalah, Hercules ikut andil menyelesaikannya, termasuk
menyuntikan modal agar lembaga pendidikan itu bisa terus berjalan dan
berkembang.
4Johnny Indo, Petualangan Perampok Budiman
Dengan tubuhnya jangkung dengan kulitnya yang bersih. Tutur katanya halus. Mungkin orang akan mengira dia hanyalah seorang lelaki biasa saja. Seorang ayah yang baik, yang mengajari PR bagi anak-anaknya, atau suami yang menyayangi istrinya. Apalagi di masa mudanya di juga tampan. Dan dia indo, lahir di Garut Garut, 06 November 1948. Tapi siapa sangka dia adalah pimpinan kawanan perampok yang sangat disegani. Yohanes Hubertus Eijkenboom atau Johnny Indo.
Johny Indo dan 12 anak buahnya yang ia beri nama “pachinko” alias pasukan china kota sangat disegani sebagai perampok yang malang melintang di Jakarta dan sekitarnya. Johnny Indo adalah spesialis perampok toko emas dan selalu melakukan aksi pada siang hari. Mereka yang merampok toko emas di Cikini, Jakarta Pusat, pada 1979. Perampokan ini menjadi berita yang menggemparkan karena gerombolan membawa lima pistol, satu buah granat, dan puluhan butir peluru. Johnny mengaku mendapatkan senjata api dari sisa-sisa pemberontakan RMS, PRRI atau DI TII.
Mengaku sebagai anak kampong, sesungguhnya Johnny Indo berasal dari keluarga miskin. Sejak kecil dia suka membaca buku termasuk petualangan Sunan Kalijaga yang sebelum menjadi wali merupakan perampok, namun perampok untuk kebaikan semua dengan membagikan hasil rampokan kepada orang miskin. Atau tentang Si Pitung seorang perampok budiman dari Jakarta. Robbin Hood yang berkiprah di desa kecil bernama Nottingham, Inggris.
Berkali-kali pula Johny Indo mengulangi perbuatannya dan hasil jarahannya dia bagi-bagikan kepada masyarakat miskin. Namun sepandai-pandai tupai melompat sekali gagal juga. Pepatah itu nampaknya berlaku juga buat Johny Indo dan kelompoknya. Karena kekuranghati-hatian salah seorang anggota kelompoknya yang menjual emas, hasil barang jarahan sembarangan, satu demi satu anak buah Johny Indo dibekuk petugas. Johny Indo akhirnya tertangkap di Gua Kiansiantang, Sukabumi, Jawa Barat. Dia diganjar 14 tahun penjara dan dijebloskan ke penjara yang keamannya ekstra ketat Nusakambangan.
Ternyata mendekam di Nusakambangan tidak membuat petualangan Johny Indo berakhir. Bersama 14 tahanan lainnya, Johny Indo membuat geger karena kabur dari sel. Hampir semua aparat keamanan waktu itu dikerahkan untuk menangkap Johny Indo dan kelompoknya. Namun setelah bertahan hingga dua belas hari, Johny Indo pun menyerah. Dia menyerah karena sudah berhari-hari tidak makan. Selain itu 11 tahanan yang melarikan diri bersamanya tewas diberondong peluru petugas. Kisah pelarian Johny Indo yang legendaries itu bahkan sempat diangkat ke layar film dengan Johny Indo sebagai bintangnya sendiri.
Johnny Indo yang dalam karirnya merampok pantang melukai korbannya selama di penjara itu banyak waktu luang, dari sana mulai berfikir tentang jati diri, akhirnya selama dipenjara banyak belajar agama Islam karena sebelumnya beragama nasrani.
Kini Johny Indo tinggal di daerah Sukabumi, Jawa Barat bersama istrinya, Vinny Soraya dan kedua putra-putrinya. Ia telah berubah. Ia menjalani kehidupan barunya sebagai seorang juru dakwah. Di saat senggang ia menghabiskan waktu dengan membenahi rumahnya yang sederhana sambil menunggu panggilan dakwah.